In The Name of Allah

Welcome - Sugeng Rawuh - Selamat Datang

Selasa, 03 Maret 2009

TINJAUAN HUKUM ATAS PEMBEBASAN PPN ATAS RUSUNAMI


PENDAHULUAN


Pajak yang di pungut oleh pemerintah mempunyai latar belakang falsafah hukum yang berdasarkan falsafah negara yaitu Pancasila, seperti yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945. Selain itu dalam dalam Pasal 23 ayat 2 UUD 1945 naskah asli sebelum amandemen, di dalamnya tertulis : “Segala pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang.” Asas yuridis atas pemungut pajak sebagaimana penjelasan di atas akan menimbulkan pertanyaan: Mengapa pajak harus berdasarkan Undang-Undang? Apakah tidak mungkin pungutan pajak hanya di dasarkan pada Keputusan Presiden atau Keputusan Menteri Keuangan? Bagaimana jika peraturan yang hierarkhi-nya lebih tinggi secara eksplisit tidak mengatur suatu masalah, namun peraturan yang lebih rendah hierarkhi-nya justru mengaturnya?


TINJAUAN HUKUM DARI PEMBEBASAN PPN ATAS RUSUNAMI


Pasal 23 ayat 2 UUD 1945, sebagaimana di amandemen yang ketiga mejadi Pasal 23 A, ”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara di atur dengan undang-undang.” Merupakan dasar hukum pemungutan pajak, tetapi pada hakekatnya dalam ketentuan ini tersirat falsafah pajak, yaitu pajak harus berdasarkan undang-undang.

Undang-undang pajak tidak dapat dengan segera/mudah di laksanakan, tanpa ada peraturan pelaksanaannya. Peraturan pelaksana tsb di buat oleh instansi yang lebih rendah daripada pembuat Undang-Undang (yaitu DPR dan Presiden). Peraturan pelaksana banyak ragamnya tergantung pada pembuatnya, ada yang berdasarkan Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktur Jenderal Pajak dan sebagainya. Peraturan itu mempunyai hierarkhi (tingkatan), dan peraturan yang lebih rendah tingkatnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Adapun tingkatan peraturan yang berlaku di Indonesia adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) UU no. 10 Tahun 2004;

“Jenis dan hierarkhi Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

c. Peraturan Pemerintah

d. Peraturan Presiden

e. Peraturan Daerah. “


Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (5) di tuliskan: “ Dalam ketentuan ini yang di maksud dengan ‘hierakhi’ adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang di dasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.”


Oleh karena Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, merupakan peraturan yang lebih rendah dari UUD 1945 selaku hierarkhi peraturan hukum tertinggi di Indonesia, dimana di dalamnya terdapat sedikit perbedaan tentang pemungutan pajak untuk keperluan negara sesuai Pasal 23 ayat (2), dengan potensi kehilangan pemasukan pajak karena adanya pembebasan pengenaan PPN sesuai PP No. 31 tahun 2007 beserta peraturan pelaksana di bawahnya. Maka mari bersama kita telaah tentang PP No. 31 tahun 2007 beserta peraturan pelaksaan yang di bawahnya, yaitu Peraturan Menteri Keuangan No. 31/PMK.03/2008, masih ataukah perlu di revisi berdasarkan tinjauan segi hukum.


Permasalahan yang mungkin timbul lagi berkenan dengan asas yuridis adalah tentang pemungutan pajak untuk penerimaan negara yang di pergunakan untuk pembiayaan pengeluaran negara sesuai Pasal 23 ayat (2) UUD 1945, dengan potensi kehilangan pemasukan pajak karena adanya pembebasan pengenaan PPN sesuai PP No. 31 tahun 2007 beserta peraturan pelaksana di bawahnya. Di sini seolah-olah terjadi perselisihan antara UUD 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum Indonesia sesuai Pasal 7 ayat (1) UU no. 10 Tahun 2004, dengan peraturan yang lebih rendah hierakhirnya.


Namun sebenarnya tidaklah terjadi pertentangan, karena dalam Pembukaan UUD 1945 dalam alinea terakhir (ke empat) yang di dalamnya tercantum falsafah negara yaitu Pancasila, dalam sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, tersirat segi yuridis dari pajak. Pajak selain harus memenuhi keadilan juga sesuai dengan peradaban manusia, khususnya peradaban Indonesia. Keadilan yang merupakan salah satu syarat yuridis dari pajak tercermin dari prinsip non-diskriminasi dan daya pikul. Kemanusiaan artinya bahwa perlakuan kepada wajib pajak harus secara manusia. Perlakuan manusiawi tidak boleh melanggar hak asasi manusia dan harus layak bagi manusia dan tindakan sewenang-wenang terhadap wajib pajak harus di hindarkan. Pungutan yang melampaui batas sehingga tidak memungkinkan manusia hidup secara layak adalah melanggar kemanusiaan yang beradab. (Rochmat Soemitro). Oleh karena kepemilikan tempat tinggal yang layak adalah salah satu hak asasi manusia, maka sangatlah wajar apabila pemerintah melalui PP No. 31 tahun 2007, membebaskan pengenaaan PPN bagi penyerahan rusunami, agar masyarakat golongan menengah ke bawah mampu memilikinya secara adil dan beradab.


Keluarnya Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 2007 ini telah di atur keberadaannya dalam hierarkhi peraturan yang lebih tinggi, yaitu UU No. 18 tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 8 tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM. Dalam Pasal 16 b (angka) 1 UU No. 18 tahun 2000 di nyatakan:


Dengan Peraturan Pemerintah dapat di tetapkan bahwa pajak terutang tidak di pungut sebagian atau seluruhnya, baik untuk sementara waktu atau selamanya, atau di bebaskan dari pengenaan pajak :

  1. Kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah pabean
  2. Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu
  3. Impor Barang Kena Pajak tertentu
  4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
  5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean

Dalam memori penjelasannya tertulis:

Kemudahan perpajakan yang diatur dalam pasal ini diberikan terbatas untuk:

h. Menjamin tersedianya perumahan yang terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah yaitu rumah sederhana, rumah sangat sederhana, dan rumah susun sederhana.


Namun dalam UU PPN ini beserta memori penjelasannya belum secara tegas mengatakan tentang kata ”RUSUNAMI”, sehingga di rasa ’kurang menggigit’ untuk di jadikan sebagai acuan/rujukan dalam pembuatan peraturan yang secara hierarkhi berada di bawahnya, demikian pula dalam pelaksanaannya.


Alasan lain dalam pembebasan PPN bagi penyerahan BKP berupa RUSUNAMI adalah sejalan dengan UU No. 4 th 1992. Pada pasal 5 ayat 1 dikatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk menempati, menikmati atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur. Pasal 4 menegaskan rumah adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.


SARAN


UU PPN perlu di lakukan revisi, tepatnya di dalam penjelasan pasal 16 B ayat 1 huruf h, perlu di tambahkan kata ”RUSUNAMI’, untuk di jadikan landasan hukum bagi produk hukum yang secara hierarkhi berada di bawahnya.

Sehingga di harapkan penjelasan dalam Pasal 16 B ayat 1 paragraf ketiga selengkapnya berbunyi :

Kemudahan perpajakan yang diatur dalam pasal ini diberikan terbatas untuk:

h. Menjamin tersedianya perumahan yang terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah yaitu rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana, dan rumah susun sederhana milik (rusunami). ”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please... Comment at this one