In The Name of Allah

Welcome - Sugeng Rawuh - Selamat Datang

Selasa, 03 Maret 2009

KERUGIAN PAJAK - POTENTIAL LOSS

PENDAHULUAN

Pemerintah dalam berbagai kesempatan, dalam hal ini Departemen Keuangan ataupun Direktorat Jenderal Pajak sering mengemukakan tentang potential loss yang di akibatkan adanya pemberlakuan peraturan perpajakan tertentu. Misal dalam Kompas edisi 6 November 2008, dalam beritanya di tuliskan bahwa penerapan PP No. 62/2008 tentang fasilitas PPh dalam penanaman modal untuk bidang-bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu, akan mengakibatkan potensi kerugian pajak dalam jumlah besar. Kemudian timbul pertanyaan, Apakah yang di maksud dalam potential loss dalam berita itu?? Apakah potential loss hanya dapat di akibatkan karena adanya pemberlakuan peraturan?? Apakah setiap peraturan perpajakan yang berlaku memungkinkan timbulnya potential loss??

ISI

Potential loss adalah selisih antara potensi pajak dengan realisasi penerimaan pajak, hal ini dapat disebabkan karena (1) ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, (2) kerugian karena tindakan aparat pajak, dan (3) kerugian karena tindakan wajib pajak.(Mohammad Zain)

Kerugian yang pertama (1) di sebut sebagai pengeluaran pajak (tax expenditure). Pada hakekatnya tax expenditure ini merupakan subsidi kepada OP atau Badan melalui mekanisme pengecualian – pengecualian (exemptions) dan pengurangan-pengurangan (deductions) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Kerugian karena tindakan aparat pajak dapat di sebabkan karena kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi, dan kegiatan lain dari aparat pajak tanpa prosedur yang benar, yang pada intinya untuk memperkaya diri sendiri, yang berakibat pada tidak tercapainya target penerimaan. Sedang kerugian karena wajib pajak dapat di sebabkan oleh adanya negara bebas pajak (tax haven countries), penghindaran pajak (tax avoidance) dan penyelundupan pajak (tax evasion) baik secara bilateral maupun unilateral.

Potential loss yang dapat di timbulkan dari ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, dapat di klasifikasikan sebagai berikut:

1. Kerugian karena materi ketentuan peraturannya

Pemberian subisidi yang termasuk dalam kategori tax expenditure antara lain:

a. Bukan objek pajak

b. Pengecualian

c. Pengurangan

d. Tarif khusus

e. Pajak di tanggung pemerintah (DTP)

f. Perangsang fiscal bagi perusahaan asing yang baru berdiri

g. Perangsang penanaman modal kembali laba setelah pajak

h. Penyusutan di percepat

i. Sunset Policy

j. Tax holiday

k. Pembebasan impor barang modal dan bahan baku untuk proses produksi

Termasuk di dalamnya yaitu perbuatan para wajib pajak untuk mencari celah-celah (loopholes) yang terdapat dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dengan maksud untuk mengecilkan pembayaran pajaknya. Mekanisme yang dipakai oleh WP adalah dengan cara penghindaran pajak yang di benarkan (acceptable tax avoidance) dan penghematan pajak (tax saving) melalui perencanaan pajak (tax planning) yang matang dengan tidak melanggar ketentuan perpajakan yang berlaku. The obvious goal of most tax planning is the minimization of the amount that a person or other entity must transfer to the government, demikian menurut James W. Pratt, Jane O. Burns dan William N. Kulsrud dalam Individual Taxation 1989 Edition (1989 : 1-37)

2. Kerugian karena pelaksanaan peraturannya

Kegiatan dalam bentuk penyelundupan pajak bilateral (bilateral tax evasion) antara wajib pajak dengan aparat pajak untuk mengecilkan omzetnya yang berakibat pada menurunnya pajak yang terutang. Hal ini seringkali terjadi dalam kegiatan pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh para fungsional pajak.

Kerugian yang di timbulkan tidak hanya berpengaruh pada uang pajak yang seharusnya masuk ke kas negara, akan tetapi secara moral mencerminkan pula tidak tercapainya unsur keadilan dalam perpajakan yang merupakan landasan bagi terwujudnya kepatuhan kewajiban perpajakan.

3. Kerugian karena pelanggaran peraturannya

Merupakan kegiatan penghindaran pajak yang tidak di benarkan (unacceptable tax avoidance), karena secara jelas telah melanggar peraturan perpajakan yang berlaku. Sebagian pakar ekonomi menyebutnya dengan penyelundupan pajak (tax evasion), karena identik dengan kegiatan yang bersifat illegal. Garis pemisah antara acceptable tax avoidance dengan unacceptable tax avoidance (tax evasion) adalah tidak melanggar undang-undang (lawful) dan melanggar undang-undang (unlawful).

Oliver Oldman menegaskan bahwa termasuk kegiatan tax evasion yaitu kelalaian dalam pemenuhan kewajiban perpajakan karena:

a. Ketidaktahuan (ignorance), yaitu WP tidak sadar atau tidak tahu akan adanya ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku tsb.

b. Kesalahan (error), yaitu WP paham dan mengerti mengenai ketentuan perpajakan, tetapi terjadi kesalahan dalam pelaksanaannya.

c. Kesalahpahaman (misunderstanding), yaitu WP salah dalam menafsirkan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku.

d. Kealpaan (negligence), yaitu WP alpa untuk menyimpan buku transaksi beserta bukti-buktinya secara lengkap.

PENUTUP

Sanksi karena pelanggaran peraturan di atas, dan sanksi terhadap aparat pajak yang melakukan kegiatan bilateral tax evasion dengan WP, telah diatur dalam UU No. 28 Tahun 2007 tentang KUP selaku Hukum Pajak Formil dalam lingkup Hukum Adminstrasi. Kemudian sebagai rujukan dalam pelaksaan kegiatan perpajakan, di harapkan peraturan perundang-undangan yang terbit sebisa mungkin meminimalisasikan adanya tafsir ganda yang bisa menimbulkan adanya grey area, yang dapat di pakai oleh WP sebagai celah-celah (loophole)untuk mengecilkan pajak yang seharusnya terutang.

1 komentar:

  1. assalamualaikum mas riyanto, dengan hormat, bisakah saya minta tolong untuk dicantumkan rujukan yang dipakai dalam tulisan ini? terima kasih

    BalasHapus

Please... Comment at this one